Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1964 tanggal 8 maret 1964 dengan luas wilayah 3.301.784 ha. Luas daratan sekitar 35.376 km2 dengan garis pantai 1.105 km. Secara geografis terletak pada 103.05o – 103.45o BT dan 03.45o – 06.45o LS, sehingga secara umum Provinsi Lampung beriklim tropis. Berdasarkan tipe iklim Oldeman, wilayah bagian barat Lampung bertipe iklim A dan B, sedangkan bagian timur Lampung bertipe iklim C,D dan E. Pola musim wilayah Lampung pada umumnya berpola monsunal, dimana terdapat perbedaan yang nyata antara musim penghujan dan kemarau serta mempunyai satu puncak musim. Dengan beragamnya tipe iklim yang terdapat di wilayah Lampung, maka sumber daya alamnya sangat melimpah, terutama padi dan hasil perkebunan. Untuk menunjang kesinambungan sebagai Provinsi Lumbung Pangan, maka peran serta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sangat diperlukan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Lampung telah berdiri sejak tahun 1963 dan terdiri dari beberapa stasiun. Stasiun Meteorologi Radin Inten Lampung memiliki peranan untuk memberikan pelayanan khusus penerbangan kepada Bandara Radin Inten II Lampung (ketika itu Bandara Branti). Selanjutnya mulai tahun 1976 pelayanan Stasiun Meteorologi Radin Inten II Lampung tidak hanya melayani penerbangan saja, namun ditingkatkan pada pelayanan iklim dan mendapatkan tugas tambahan sebagai Stasiun Koordinator BMKG Provinsi Lampung. Untuk pelayanan kegempaan dimulai tahun 1982 dengan berdirinya Stasiun Geofisika Kotabumi di Mulang Maya, Kabupaten Lampung Utara. Seiring dengan makin meningkatnya akan permintaan jasa iklim untuk pertanian, perkebunan dan lingkungan hidup maka pada tahun 1995 didirikan Stasiun Klimatologi Masgar Tanjungkarang, sedangkan untuk melayani jasa meteorologi perairan, maka pada tahun 1999 dibukalah Stasiun Meteorologi Maritim Lampung yang berlokasi di Pelabuhan Panjang Kota Bandar Lampung. Dengan bantuan pemerintah Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2006 didirikan Stasiun BMKG Terpadu Liwa, yang kegunaannya adalah untuk pelayanan kegempaan dan iklim daerah Lampung Barat pada khususnya. Pembangunan stasiun BMKG Terpadu seperti penyediaan lahan dan infrastruktur difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, sedangkan BMKG hanya menyediakan peralatan dan sumber daya manusianya.
Sejarah Stasiun
Sejarah pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia dimulai pada tahun 1841 diawali dengan pengamatan yang dilakukan secara perorangan oleh Dr. Onnen, Kepala Rumah Sakit di Bogor. Tahun demi tahun kegiatannya berkembang sesuai dengan semakin diperlukannya data hasil pengamatan cuaca dan geofisika. Pada tahun 1866, kegiatan pengamatan perorangan tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda diresmikan menjadi instansi pemerintah dengan nama Magnetisch en Meteorologisch Observatorium atau Observatorium Magnetik dan Meteorologi dipimpin oleh Dr. Bergsma.
Pada tahun 1879 dibangun jaringan penakar hujan sebanyak 74 stasiun pengamatan di Jawa. Pada tahun 1902 pengamatan medan magnet bumi dipindahkan dari Jakarta ke Bogor. Pengamatan gempa bumi dimulai pada tahun 1908 dengan pemasangan komponen horisontal seismograf Wiechert di Jakarta, sedangkan pemasangan komponen vertikal dilaksanakan pada tahun 1928. Pada tahun 1912 dilakukan reorganisasi pengamatan meteorologi dengan menambah jaringan sekunder. Sedangkan jasa meteorologi mulai digunakan untuk penerbangan pada tahun 1930.
Pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 - 1945, nama instansi meteorologi dan geofisika diganti menjadi Kisho Kauso Kusho. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, instansi tersebut dipecah menjadi dua: Di Yogyakarta dibentuk Biro Meteorologi yang berada di lingkungan Markas Tertinggi Tentara Rakyat Indonesia khusus untuk melayani kepentingan Angkatan Udara.
Di Jakarta dibentuk Jawatan Meteorologi dan Geofisika, dibawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja. Pada tanggal 21 Juli 1947 Jawatan Meteorologi dan Geofisikadiambil alih oleh Pemerintah Belanda dan namanya diganti menjadi Meteorologisch en Geofisiche Dienst. Sementara itu, ada juga Jawatan Meteorologi dan Geofisika yang dipertahankan oleh Pemerintah Republik Indonesia, kedudukan instansi tersebut di Jl. Gondangdia, Jakarta. Pada tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan negara Republik Indonesia dari Belanda, Meteorologisch en Geofisiche Dienst diubah menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika dibawah Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Selanjutnya, pada tahun 1950 Indonesia secara resmi masuk sebagai anggota Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization atau WMO) dan Kepala Jawatan Meteorologi dan Geofisika menjadi Permanent Representative of Indonesia with WMO.
Pada tahun 1955 Jawatan Meteorologi dan Geofisika diubah namanya menjadi Lembaga Meteorologi dan Geofisika dibawah Departemen Perhubungan dan pada tahun 1960 namanya dikembalikan menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika dibawah Departemen Perhubungan Udara. Pada tahun 1965, namanya diubah menjadi Direktorat Meteorologi dan Geofisika, namun kedudukannya tetap di bawah Departemen Perhubungan Udara. Pada tahun 1972, Direktorat Meteorologi dan Geofisika diganti namanya menjadi Pusat Meteorologi dan Geofisika, yaitu suatu instansi setingkat Eselon II dibawah Departemen Perhubungan dan pada tahun 1980 stasiunnya dinaikkan menjadi suatu instansi setingkat Eselon I dengan nama Badan Meteorologi dan Geofisika dan tetap berada di bawah Departemen Perhubungan. Terakhir pada tahun 2002, dengan keputusan Presiden RI Nomor 46 dan 48 tahun 2002, struktur organisasinya diubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dengan nama tetap Badan Meteorologi dan Geofisika. Terakhir, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008, Badan Meteorologi dan Geofisika berganti nama menjadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan status tetap sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen. Pada tanggal 1 Oktober 2009 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.